Senin, 03 Desember 2012

The Language of the New Media



Interactivity merupakan konsep yang sering digunakan untuk membedakan antara media baru yang digital dengan media lama yang menggunakan analog. Pembahasan ini telah dijelaskan dalam sub-bab “Teknologi determinisme dan Perkembangan Media Baru” terdahulu, namun Gane dan Beer (2008) mengajukan pembahasan tentang ini dengan perspektif teori sosial sebagaimana yang dikembangkan oleh Stephen Graham (2004), Lev Manovich (2001) dan Spiro Kiousis (2002).

Interactivity bagi Graham merupakan salah satu cara yang berjalan di antara pengguna dan mesin (teknologi). Kehadiran teknologi komunikasi pada dasarnya memberikan kemudahan bagi siapapun yang menggunakan teknologi untuk saling berinteraksi; bahkan teknologi telah mewakili kehadiran dan atau keterlibatan fisik dalam berkomunikasi. Sebagaimana yang dikutip Gane dan Beer:

…‘anythinganywhere-anytime dream’ in which the promise of interactivity is that it will deliver smooth and unlimited inter-action between users and machines in practically any setting. Graham argues that while this has happened to some extent, the envisioned transcendence of bodies or of physical geography has not been realized. have witnessed something less spectacular and more mundane as digital technologies have become integral parts of our everyday lives, and have been ‘remediated’ into everyday spaces and places, including the workplace and the home (between which there is often no longer any clear distinction). (2008:88)

Bagi Graham, teknologi telah memediasi—Graham menyebutnya dengan istilah ‘remediated’—segala aktifitas manusia. Perbedaan wilayah, misalnya, tidak lagi menjadi kendala bagi dua orang untuk melakukan komunikasi secara langsung; kehadiran Skypee, situs perbincangan langsung (live chat) melalui video memungkinkan di antara pengguna saling berkomunikasi langsung sekaligus melihat ekspresi wajah mereka melalui webcam atau kamera yang terhubung ke internet.  Interactivity inilah yang disebut  Graham  sebagai:
‘experiencing a complex and infinitely diverse range of transformations where new and old practices and media technologies become mutually linked and fused in an ongoing blizzard of change’ (Graham 2004: 11 dalam Gene and Beer, 2008:89)

Graham melihat term interactivity ini dalam konsep kerja teknologi media baru dalam aktivitas manusia sehari-hari. Pendapat sama juga disampaikan oleh Manovich bahwa konsep interactivity pada media baru sebenarnya telah membawa pengaburan (‘transendence’) terhadap batasan-batasan fisik dan sosial. Namun, dalam bukunya The Language of New Media (2001) Manovich menyatakan bahwa pada dasarnya baik teknologi media baru maupun media lama pada praktiknya sama-sama mengunakan apa yang disebut dengan terminteractivity. Argumen ini dicontohkan Manovich dengan menyebut bagaimana sinema itu bekerja (Graham dan Beer, 2008:55-62). Sinema pada dasarnya menuntut keaktifan indera audience, misalnya perasaan, pendengaran, atau penglihatan, untuk menerjemahkan visualiasi maupun audio. Artinya, setiap audiencedituntut untuk lebih bisa menerjemahkan sesuai dengan perspesi masing-masing audience terhadap apa yang disaksikan oleh mereka. Sebagaimana ketika seseorang membaca buku fiksi yang harus berimajinasi untuk memunculkan bagaimana gambaran tokoh-tokoh dalam buku tersebut; inilah yang disebut Manovich sebagai defenisi dari kata ‘interactive’.

Beginning in the 1920s, new narrative techniques such as film montage forced audiences to bridge quickly the mental gaps between unrelated images. Film cinematography actively guided the viewer to switch from one part of a frame to another. The new representational style of semi-abstraction, which along with photography became the ‘international style’ of modern visual culture, required the viewer to reconstruct represented objects from a bare minimum – a few patches of colour, shadows cast by the objects not represented directly.(Manovich, 2001: 56)

Teori ini jelas berbeda dengan apa yang disebut sebagai pembagian media ‘cool’ dan ‘hot’ Marshal McLuhan (1964) bahwa media dingin atau ‘cool media’ tidak menuntut partisipasi audience dibandingkan media ‘hot media’ . Dalam pembagian ini McLuhan memosisikan sinema berada dalam kategori ‘cool media’ dikarenakanaudience tidak berpartisipasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Manovich.
Untuk tidak mengaburkan tipologi McLuhan, Manovich menyodorkan dua tipologi untuk mendekati katainteractivity dalam perspektif media baru, yakni ke dalam tipe ‘terbuka’ (open) dan tipe ‘tertutup’ (closed) (Gane and Beer, 2008:92). Dalam tipe ‘tertutup’ audience disodorkan pilihan-pilihan selayaknya sebuah cabang pohon yang setiap cabang akan membawa pada lajur yang berbeda. Kondisi ini menempatkanaudience ketika mengakses media baru diberikan pilihan-pilihan bebas sesuai dengan apa yang diinginkan oleh audience tersebut.

When the user reaches a particular object, the program presents her with choices and allows her to choose among them. Depending on the value chosen the user advances along a particular branch of the tree. In this case the information used by a program is the output of the user’s cognitive process. (Manovich, 2001: 38)
This is the simplest kind of interactivity; more complex kinds are also possible in which both the elements and the structure of the whole object are either modified or generated on the fly in response to the user’s interaction with a program. We can refer to such implementations as open interactivity to distinguish them from the closed interactivity that uses fixed elements arranged in a fixed branching structure. (Manovich, 2001: 40)

Sementara term interactivity  dalam kajian sosial dipaparkan oleh Kious dalam karya ‘Interactivity: A Concept Explicion’ (2002). Kious menandaskan bahwa term interactivity tidak hanya berasal dari bagaimana seseorang itu mengakses hal-hal teknis atau sistem dari produk teknologi komunikasi, melainkan juga bagaimana perasaan yang muncul dari pengguna ketika berinteraksi dan efek apa yang ingin dicapai dari mesin (teknologi) yang digunakan. Oleh karena itu, dalam kajian Kious kata ‘interactivityi’ bisa didekati dalam dua kondisi:

first, a scale of interactivity informed by an analysis of how a given technical system operates, where ‘interactivity levels only fluctuate by altering technological properties’ (Kiousis 2002: 357), and second, a scale informed by the assertion that ‘interactivity levels rise and fall within a medium dependent upon people’s perceptions’ (Kiousis 2002). (dalam Gene and Beer, 2008:94

Berdasarkan pendekatan di atas, maka Gane dan Beer memberikan empat tipe untuk mendekati kata ‘interactivity’, yakni: 1) sebuah struktur yang dibangun dari perangkat keras maupun perangkat lunak dari berbagai sistem media, 2) human agency, melibatkan manusia, dan adanya desain maupun perangkat sebagai variabel-variabel yang bebas digunakan, 3) konsep untuk menjelaskan tentang komunikasi yang terjadi antara pengguna yang termediasi oleh media baru dan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru yang selama ini ada dalam proses komunikasi interpersonal, dan 4) bisa diartikan sebagai konsep yang menghapuskan sekat-sekat, sebagai contoh, antara pemerintah dan warga negara (2008:97).

Keempat tipe ini ada di dalam teknologi Web 2.0 misalnya didalam situs-situs yang ada di internet. Bahwa dalamWeb 2.0 teradapat network yang memebntuk jejaring dan masing-masing entitas terhubung melaluiinterface dan mengkreasi dana atu mengonsumsi informasi (konten) yang tersimpan (archive). Semua proses dalam media baru yang disebutkan inilah yang di dalamnya bisa dilihat bagaimana proses atau terminteractivity itu terjadi. Atau sebagaimana dicontohkan Gane dan Beer berikut ini:

The website of the global online retailer Amazon. For some time, Amazon has devoted space on its website for users to rate a book or product and to post a review about that item. These reviews may, in turn, be rated by visitors to the page, and above each review is a line that states how many people have found that review to be of use in making their purchasing decision. This ‘interactive’ space is coupled with more formal information about a given product, along with a list of what other customers are browsing, and an archive of what people who bought a particular product also purchased. This is an example of a fairly routine online environment, but even so it is tricky to conceptualize, for in Manovich’s terms both open (the reviewing spaces) and closed (the rating functions) forms of interactivity are situated alongside one another in a common space. To complicate this further, Amazon has also recently added a ‘customer discussions’ section which encourages the visitor to ‘Ask questions, Share opinions, Gain insight’. This section is located below the customer reviews, and is presumably intended to cultivate a greater level of ‘interaction’ between visitors to the page by encouraging them to exchange views about different products. This production and circulation of user-generated content is, in many ways, close to the vision of interactivity  onsidered above by Schultz, which ties interactivity to communication and to the user’s sense of  interaction. However, the interactive structures of commercial websites such as Amazon are designed to market and ultimately sell products. With this in mind, commercial websites are often programmed to gather information about their visitors – the pages or objects they have viewed, what they have purchased or added to their wish-lists, and so on. This ‘interaction’ creates content that we can see on the website, but also produces a massive dataset that is less visible to the visitor. This dataset, which is made up of traces that are left behind in the course of such interaction, can then be ‘mined’ to produce fine-grained definitions of different consumer populations and their preferences. In sum, interactive media produce information about their users that is often of economic worth. (2008:99-100).

Gerakan Sastra Internet yang diusung pada akhir 90-an oleh cybersastra.net (Yayasan Multimedia Sastra) merupakan tonggak sejarah yang turut mewarnai perkembangan sastra di Indonesia. Banyak penulis sastra Indonesia saat ini merupakan penggiat sastra di internet, khususnya penulis-penulis yang pernah berinteraksi dengan cybersastra.net dan beberapa mailing list komuntas maya di atas.

Perkembangan sastra di internet saaat sangat luar biasa. Setelah cybersastra.net tidak aktif pada tahun 2005, banyak situs-situs sastra baru bermunculan seperti: fordisastra.com, kemudian.com, duniasastra.com, sastra-indonesia.com, mediasastra.com, jendelasastra.com,dan masih banyak lagi yang lain. Selain itu fasilitas gratis yang disediakan provider Twitter.com, Facebook.com, Multiply.com, Blogspot.com, WordPress.com menjadi media yang diminati beberapa tahun terakhir. Penulis sastra, baik yang terkenal maupun tidak, banyak menggunakan media-media tersebut.

Bahkan google pun mau ikut andil dalam dunia sastra digital. Google akan terlibat dalam proyek penelitian akademik yang bertujuan mendigitalkan semua karya sastra dari berbagai era dan belahan dunia.

Dalam blog Google Research, disebutkan bahwa Google siap mengucurkan dana hingga US$ 1 juta untuk 12 proyek di 15 universitas yang akan meneliti kaitan antara lokasi geografis dan karya sastra. Hasil penelitian ini nantinya akan ditampilkan melalui layanan Google Earth.

Dari proyek tersebut, salah satu di antaranya bernama Google Ancient Places. Proyek ini merupakan kolaborasi antara Universitas Terbuka di Inggris, Universitas Southampton, dan Universitas California di Berkeley. Lewat layanan Google Ancient Places, pengguna bisa mencari buku-buku yang berasal lokasi dan era tertentu, yang kemudian akan divisualisasikan pada Google Maps atau Google Earth.

Dikutip detikINET dari Guardian, Jumat (16/7/2010), para akademisi nantinya dapat mengakses data yang dikumpulkan dari berbagai macam sastra, termasuk dari media cetak dan juga sumber-sumber langka yang biasanya hanya dimiliki oleh sebagian kecil institusi. Para peneliti mengatakan, proyek ini akan membantu menumbuhkan ketertarikan pada sejarah, sastra kuno dan arkeologi, serta pengembangan berbagai alat dan metode penelitian baru.

Dari sekian banyak situs jaringan sosial, yang saya amati dan sekaligus menjalani adalah situs Facebook.com dan Twitter.com. Sepanjang pengamatan dan pengalaman saya dengan adanya kedua situs tersebut mendorong seseorang untuk kembali menulis, sebebas-bebasnya semau penulis. Saya akan berikan gambaran keduanya. Facebook memberikan ruang untuk membuat catatan yang lebih besar, selain sekedar membuat status yang 240 karakter. Twitter hanya memberikan ruang 140 karakter. Terlalu sering mengupdate status di facebook bisa dimarahi para friends. Sedangkan di twitter semakin sering update semakin disuka.

Menulis karya di Facebook bisa panjang lebar. Jika di twitter harus dipotong-potong kalau karya puisi atau cerpennya panjang. Friends di facebook terbatas, sedangkan di Twitter bisa sebanyak-banyaknya. Di twitter ada mentions, di facebook ada tag. Sama-sama menarik perhatian rekan untuk membacanya. Mana yang lebih disukai? Bagi yang suka online terus menerus Twitter mungkin lebih disuka. Berkicau sepuasnya. Membaca Time line terus menerus. Bagi yang suka memajang foto, membuat catatan panjang, facebook mungkin lebih disukainya. Mengomentari catatan rekan dan tentu saja chat.Bagi seorang penulis yang akan memasarkan bukunya, mana yang lebih cocok? Twitter atau Facebook? Selama ini saya belum pernah menemukan iklan di twitter seperti di facebook. Kecuali dari teman yang kita follow, sesekali. Di facebook, seseorang bisa memasang foto produk yang akan dia jual. Kadang-kadang memaksa friends untuk melihatnya dengan men-tag. Di twitter tidak bisa memasang foto dan tulisan panjang. Maka follower diarahkan ke url di situs lain.

Karya-karya yang muncul di Twitter, Facebook, blog, milist sangat mungkin muncul kembali di Koran, majalah dan buku. Buku serial antologi puisi “Dian Sastro for Presiden” (3 jilid) juga merupakan hasil interaksi dari berbagai mailing list. Buku untuk munir, peringatan gempa di Yogyakarta dan Padang, tsunami Aceh merupakan hasil interaksi dari para penulis di internet. Buku-buku yang lain, sangat mungkin merupakan hasil dari karya-karya yang muncul di fesbuk, twitter, milist dan blog.

Jika ada pernyataan  apakah ruang maya ini menambah produktivitas, intensitas, dan kualitas karya? Soal produktivitas, intensitas, dan kualitas karya tentu saja bergantung siapa personilnya. Ada lumayan banyak yang serius berkarya, menjaga produktivitas, memupuk intensitasnya, serta meningkatkan karyanya. Tetapi jika dikaitkan dengan ketersediaan data, mungkin sebatas 10% saja. Selebihnya, lebih banyak bermain-main keriangan penuh keisengan di ruang maya ini.

Banyak juga pihak yang melihat miring fenomena itu. “Ke-tanpa batas-an” ruang yang disuguhkan facebook, justru menjadi titik lemah. Sehingga memberikan peluang bagi pesatnya pertumbuhan sastra yang tidak mengacu pada kualitas. Sehingga jika dibiarkan menjadi pola yang mapan, bisa jadi akan meruntuhkan pondasi akademis kesusasteraan. Runtuhlah juga nilai-nilai, definisi, dan kategorisasi yang telah ada. Di facebook, orang bisa begitu mudah disebut sastrawan karena ia rajin menulis di facebook. Orang bisa membukukan karya karena punya uang, orang bisa diorbitkan karena memiliki jaringan “pragmatis”.
Seperti yang lainnya pasti ada kekurangan dan kelebihan dari suatu hal dalam hal ini Secara logika maupun estetika sastra cyber memang berbeda dengan sastra di media lain. Misalnya di media cetak sebuah karya dinilai terlebih dulu baru sampai ke pembaca, sementara pada media cyber karya sampai dulu ke pembaca baru kemudian dinilai.

Logika dalam dunia cyber menciptakan keleluasaan lebih bagi para pembaca. Jika di media cetak selera pembaca ditentukan oleh redaktur (karena redaktur yang memutuskan karya apa yang dimuat minggu ini), maka pada media cyber pembaca bebas menentukan seleranya. Tidak hanya kebebasan atau kesetaraan, dunia cyber juga menawarkan kelebihan berupa jangkauan yang sangat luas sehingga dapat ikut membantu memperkenalkan sastra Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Jika melalui koran, sebuah karya hanya bisa diakses sampai negara tetangga atau negara yang terdapat kedutaan Indonesia, maka untuk media cyber jarak bukan sebuah masalah.

Lebih jauh maraknya tulisan sastra di internet juga memberikan dampak positif bagi otonomi konten dan mengurangi ketergantungan terhadap konten berbahasa asing. Tak dapat dipungkiri kelebihan-kelebihan tersebut yang kemudian memikat para penggiat sastra baik yang senior maupun pemula untuk menggunakan sebagai media ekspresi.

Sekarang tinggal bagaimana dinamika yang ada itu digiring pada kualitas. Maka mau tidak mau, para akademisi atau sastrawan harus ada yang ikut aktif di jejaring maya tersebut. Membangun komunikasi akademis yang sadar ruang dan sadar nilai. Menggiring pengguna facebook untuk menulis karya yang bagus, dan tentu saja agar mereka tidak melupakan media massa, yang menggunakan proses seleksi yang ketat. Artinya, kemajuan teknologi mesti diapresiasi dengan bijak. Tidak dengan serta merta, atau apriori. Apalagi seiring menguatnya wacana “green life style”, di mana segala perilaku manusia lebih diarahkan pada penghormatan terhadap lingkungan, salah satunya dengan munculnya elektronic book (e-book). Buku digital ini dianggap lebih ramah lingkungan, lebih murah, dan praktis. Seratus tahun ke depan, bukan tidak mungkin kita tak lagi akrab dengan peradaban kertas.
Facebook adalah representasi peradaban teknologi, facebook akan menyesatkan bila tidak disikapi. Salah satu cara untuk menyikapi facebook adalah dengan memanfaatkannya. Facebook menjadi alternatif sarana pembelajaran sastra. Facebook digauli untuk kemajuan, kebaikan, dan perkembangan dunia kesusasteraan.



Sumber:
http://kangarul.com/karakteristik-media-baru-interactivity/
http://bleedcorpse.wordpress.com/2010/11/03/new-media/
https://www.google.co.id/imghp?hl=id&tab=wi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar