Interactivity bagi Graham merupakan salah satu
cara yang berjalan di antara pengguna dan mesin (teknologi). Kehadiran
teknologi komunikasi pada dasarnya memberikan kemudahan bagi siapapun yang
menggunakan teknologi untuk saling berinteraksi; bahkan teknologi telah
mewakili kehadiran dan atau keterlibatan fisik dalam berkomunikasi. Sebagaimana
yang dikutip Gane dan Beer:
…‘anythinganywhere-anytime dream’ in which the
promise of interactivity is that it will deliver smooth and unlimited inter-action
between users and machines in practically any setting. Graham argues that while
this has happened to some extent, the envisioned transcendence of bodies or of
physical geography has not been realized. have witnessed something less
spectacular and more mundane as digital technologies have become integral parts
of our everyday lives, and have been ‘remediated’ into everyday spaces and
places, including the workplace and the home (between which there is often no
longer any clear distinction). (2008:88)
Bagi
Graham, teknologi telah memediasi—Graham menyebutnya dengan istilah ‘remediated’—segala
aktifitas manusia. Perbedaan wilayah, misalnya, tidak lagi menjadi kendala bagi
dua orang untuk melakukan komunikasi secara langsung; kehadiran Skypee, situs
perbincangan langsung (live chat) melalui
video memungkinkan di antara pengguna saling berkomunikasi langsung sekaligus
melihat ekspresi wajah mereka melalui webcam atau kamera yang terhubung ke
internet. Interactivity inilah yang disebut Graham sebagai:
‘experiencing a complex and infinitely diverse
range of transformations where new and old practices and media technologies
become mutually linked and fused in an ongoing blizzard of change’ (Graham 2004: 11 dalam Gene and
Beer, 2008:89)
Graham
melihat term interactivity ini
dalam konsep kerja teknologi media baru dalam aktivitas manusia sehari-hari.
Pendapat sama juga disampaikan oleh Manovich bahwa konsep interactivity pada
media baru sebenarnya telah membawa pengaburan (‘transendence’) terhadap batasan-batasan fisik dan
sosial. Namun, dalam bukunya The Language of New Media (2001) Manovich
menyatakan bahwa pada dasarnya baik teknologi media baru maupun media lama pada
praktiknya sama-sama mengunakan apa yang disebut dengan terminteractivity. Argumen
ini dicontohkan Manovich dengan menyebut bagaimana sinema itu bekerja (Graham
dan Beer, 2008:55-62). Sinema pada dasarnya menuntut keaktifan indera audience, misalnya perasaan, pendengaran, atau penglihatan,
untuk menerjemahkan visualiasi maupun audio. Artinya, setiap audiencedituntut
untuk lebih bisa menerjemahkan sesuai dengan perspesi masing-masing audience terhadap
apa yang disaksikan oleh mereka. Sebagaimana ketika seseorang membaca buku
fiksi yang harus berimajinasi untuk memunculkan bagaimana gambaran tokoh-tokoh
dalam buku tersebut; inilah yang disebut Manovich sebagai defenisi dari kata ‘interactive’.
Beginning in the 1920s, new narrative
techniques such as film montage forced audiences to bridge quickly the mental
gaps between unrelated images. Film cinematography actively guided the viewer
to switch from one part of a frame to another. The new representational style
of semi-abstraction, which along with photography became the ‘international
style’ of modern visual culture, required the viewer to reconstruct represented
objects from a bare minimum – a few patches of colour, shadows cast by the
objects not represented directly.(Manovich, 2001: 56)
Teori
ini jelas berbeda dengan apa yang disebut sebagai pembagian media ‘cool’ dan
‘hot’ Marshal McLuhan (1964) bahwa media dingin atau ‘cool media’ tidak menuntut partisipasi audience dibandingkan media ‘hot media’ . Dalam pembagian ini McLuhan memosisikan
sinema berada dalam kategori ‘cool media’ dikarenakanaudience tidak berpartisipasi sebagaimana yang
dijelaskan oleh Manovich.
Untuk
tidak mengaburkan tipologi McLuhan, Manovich menyodorkan dua tipologi untuk
mendekati katainteractivity dalam
perspektif media baru, yakni ke dalam tipe ‘terbuka’ (open) dan tipe ‘tertutup’ (closed) (Gane and Beer, 2008:92). Dalam tipe
‘tertutup’ audience disodorkan
pilihan-pilihan selayaknya sebuah cabang pohon yang setiap cabang akan membawa
pada lajur yang berbeda. Kondisi ini menempatkanaudience ketika mengakses media baru diberikan
pilihan-pilihan bebas sesuai dengan apa yang diinginkan oleh audience tersebut.
When the user reaches a particular object, the
program presents her with choices and allows her to choose among them.
Depending on the value chosen the user advances along a particular branch of
the tree. In this case the information used by a program is the output of the
user’s cognitive process.
(Manovich, 2001: 38)
This is the simplest kind of interactivity;
more complex kinds are also possible in which both the elements and the
structure of the whole object are either modified or generated on the fly in
response to the user’s interaction with a program. We can refer to such
implementations as open interactivity to distinguish them from the closed
interactivity that uses fixed elements
arranged in a fixed branching structure. (Manovich, 2001: 40)
Sementara
term interactivity dalam kajian sosial dipaparkan oleh Kious
dalam karya ‘Interactivity: A Concept
Explicion’ (2002). Kious menandaskan bahwa term interactivity tidak hanya berasal dari bagaimana seseorang itu
mengakses hal-hal teknis atau sistem dari produk teknologi komunikasi,
melainkan juga bagaimana perasaan yang muncul dari pengguna ketika berinteraksi
dan efek apa yang ingin dicapai dari mesin (teknologi) yang digunakan. Oleh
karena itu, dalam kajian Kious kata ‘interactivityi’ bisa didekati dalam dua kondisi:
first, a scale of interactivity informed by an
analysis of how a given technical system operates, where ‘interactivity levels
only fluctuate by altering technological properties’ (Kiousis 2002: 357), and
second, a scale informed by the assertion that ‘interactivity levels rise and
fall within a medium dependent upon people’s perceptions’ (Kiousis 2002). (dalam Gene and Beer, 2008:94
Berdasarkan
pendekatan di atas, maka Gane dan Beer memberikan empat tipe untuk mendekati
kata ‘interactivity’, yakni:
1) sebuah struktur yang dibangun dari perangkat keras maupun perangkat lunak
dari berbagai sistem media, 2) human agency, melibatkan
manusia, dan adanya desain maupun perangkat sebagai variabel-variabel yang
bebas digunakan, 3) konsep untuk menjelaskan tentang komunikasi yang terjadi
antara pengguna yang termediasi oleh media baru dan memberikan kemungkinan-kemungkinan
baru yang selama ini ada dalam proses komunikasi interpersonal, dan 4) bisa diartikan sebagai konsep yang
menghapuskan sekat-sekat, sebagai contoh, antara pemerintah dan warga negara
(2008:97).
Keempat
tipe ini ada di dalam teknologi Web 2.0 misalnya didalam situs-situs yang ada
di internet. Bahwa dalamWeb 2.0 teradapat network yang memebntuk jejaring dan masing-masing
entitas terhubung melaluiinterface dan
mengkreasi dana atu mengonsumsi informasi (konten) yang tersimpan (archive). Semua
proses dalam media baru yang disebutkan inilah yang di dalamnya bisa dilihat
bagaimana proses atau terminteractivity itu terjadi. Atau sebagaimana
dicontohkan Gane dan Beer berikut ini:
The website of the global online retailer
Amazon. For some time, Amazon has devoted space on its website for users to
rate a book or product and to post a review about that item. These reviews may,
in turn, be rated by visitors to the page, and above each review is a line that
states how many people have found that review to be of use in making their
purchasing decision. This ‘interactive’ space is coupled with more formal
information about a given product, along with a list of what other customers
are browsing, and an archive of what people who bought a particular product
also purchased. This is an example of a fairly routine online environment, but
even so it is tricky to conceptualize, for in Manovich’s terms both open (the
reviewing spaces) and closed (the rating functions) forms of interactivity are
situated alongside one another in a common space. To complicate this further,
Amazon has also recently added a ‘customer discussions’ section which
encourages the visitor to ‘Ask questions, Share opinions, Gain insight’. This
section is located below the customer reviews, and is presumably intended to
cultivate a greater level of ‘interaction’ between visitors to the page by
encouraging them to exchange views about different products. This production
and circulation of user-generated content is, in many ways, close to the vision
of interactivity onsidered above by Schultz, which ties interactivity to
communication and to the user’s sense of interaction. However, the
interactive structures of commercial websites such as Amazon are designed to
market and ultimately sell products. With this in mind, commercial websites are
often programmed to gather information about their visitors – the pages or
objects they have viewed, what they have purchased or added to their
wish-lists, and so on. This ‘interaction’ creates content that we can see on
the website, but also produces a massive dataset that is less visible to the
visitor. This dataset, which is made up of traces that are left behind in the
course of such interaction, can then be ‘mined’ to produce fine-grained definitions
of different consumer populations and their preferences. In sum, interactive
media produce information about their users that is often of economic worth. (2008:99-100).
Gerakan Sastra Internet yang diusung pada
akhir 90-an oleh cybersastra.net (Yayasan Multimedia Sastra) merupakan tonggak
sejarah yang turut mewarnai perkembangan sastra di Indonesia. Banyak penulis
sastra Indonesia saat ini merupakan penggiat sastra di internet, khususnya
penulis-penulis yang pernah berinteraksi dengan cybersastra.net dan beberapa
mailing list komuntas maya di atas.
Perkembangan sastra di internet saaat
sangat luar biasa. Setelah cybersastra.net tidak aktif pada tahun 2005, banyak
situs-situs sastra baru bermunculan seperti: fordisastra.com, kemudian.com,
duniasastra.com, sastra-indonesia.com, mediasastra.com, jendelasastra.com,dan
masih banyak lagi yang lain. Selain itu fasilitas gratis yang disediakan
provider Twitter.com, Facebook.com, Multiply.com, Blogspot.com, WordPress.com
menjadi media yang diminati beberapa tahun terakhir. Penulis sastra, baik yang
terkenal maupun tidak, banyak menggunakan media-media tersebut.
Bahkan google pun mau ikut andil dalam
dunia sastra digital. Google akan terlibat dalam proyek penelitian akademik
yang bertujuan mendigitalkan semua karya sastra dari berbagai era dan belahan
dunia.
Dalam blog Google Research, disebutkan
bahwa Google siap mengucurkan dana hingga US$ 1 juta untuk 12 proyek di 15
universitas yang akan meneliti kaitan antara lokasi geografis dan karya sastra.
Hasil penelitian ini nantinya akan ditampilkan melalui layanan Google Earth.
Dari proyek tersebut, salah satu di
antaranya bernama Google Ancient Places. Proyek ini merupakan kolaborasi antara
Universitas Terbuka di Inggris, Universitas Southampton, dan Universitas
California di Berkeley. Lewat layanan Google Ancient Places, pengguna bisa
mencari buku-buku yang berasal lokasi dan era tertentu, yang kemudian akan
divisualisasikan pada Google Maps atau Google Earth.
Dikutip detikINET dari
Guardian, Jumat (16/7/2010), para akademisi nantinya dapat mengakses data
yang dikumpulkan dari berbagai macam sastra, termasuk dari media cetak dan juga
sumber-sumber langka yang biasanya hanya dimiliki oleh sebagian kecil
institusi. Para peneliti mengatakan, proyek ini akan membantu menumbuhkan
ketertarikan pada sejarah, sastra kuno dan arkeologi, serta pengembangan
berbagai alat dan metode penelitian baru.
Dari sekian banyak situs jaringan sosial,
yang saya amati dan sekaligus menjalani adalah situs Facebook.com dan
Twitter.com. Sepanjang pengamatan dan pengalaman saya dengan adanya kedua situs
tersebut mendorong seseorang untuk kembali menulis, sebebas-bebasnya semau
penulis. Saya akan berikan gambaran keduanya. Facebook memberikan ruang untuk
membuat catatan yang lebih besar, selain sekedar membuat status yang 240
karakter. Twitter hanya memberikan ruang 140 karakter. Terlalu sering
mengupdate status di facebook bisa dimarahi para friends. Sedangkan di twitter
semakin sering update semakin disuka.
Menulis karya di Facebook bisa panjang
lebar. Jika di twitter harus dipotong-potong kalau karya puisi atau cerpennya
panjang. Friends di facebook terbatas, sedangkan di Twitter bisa
sebanyak-banyaknya. Di twitter ada mentions, di facebook ada tag. Sama-sama
menarik perhatian rekan untuk membacanya. Mana yang lebih disukai? Bagi yang suka
online terus menerus Twitter mungkin lebih disuka. Berkicau sepuasnya. Membaca
Time line terus menerus. Bagi yang suka memajang foto, membuat catatan panjang,
facebook mungkin lebih disukainya. Mengomentari catatan rekan dan tentu saja
chat.Bagi seorang penulis yang akan memasarkan bukunya, mana yang lebih cocok?
Twitter atau Facebook? Selama ini saya belum pernah menemukan iklan di twitter
seperti di facebook. Kecuali dari teman yang kita follow, sesekali. Di
facebook, seseorang bisa memasang foto produk yang akan dia jual. Kadang-kadang
memaksa friends untuk melihatnya dengan men-tag. Di twitter tidak bisa memasang
foto dan tulisan panjang. Maka follower diarahkan ke url di situs lain.
Karya-karya yang muncul di Twitter,
Facebook, blog, milist sangat mungkin muncul kembali di Koran, majalah dan
buku. Buku serial antologi puisi “Dian Sastro for Presiden” (3 jilid) juga
merupakan hasil interaksi dari berbagai mailing list. Buku untuk munir,
peringatan gempa di Yogyakarta dan Padang, tsunami Aceh merupakan hasil
interaksi dari para penulis di internet. Buku-buku yang lain, sangat mungkin
merupakan hasil dari karya-karya yang muncul di fesbuk, twitter, milist dan
blog.
Jika ada pernyataan apakah ruang
maya ini menambah produktivitas, intensitas, dan kualitas karya? Soal
produktivitas, intensitas, dan kualitas karya tentu saja bergantung siapa
personilnya. Ada lumayan banyak yang serius berkarya, menjaga produktivitas,
memupuk intensitasnya, serta meningkatkan karyanya. Tetapi jika dikaitkan
dengan ketersediaan data, mungkin sebatas 10% saja. Selebihnya, lebih banyak
bermain-main keriangan penuh keisengan di ruang maya ini.
Banyak juga pihak yang melihat miring
fenomena itu. “Ke-tanpa batas-an” ruang yang disuguhkan facebook, justru
menjadi titik lemah. Sehingga memberikan peluang bagi pesatnya pertumbuhan
sastra yang tidak mengacu pada kualitas. Sehingga jika dibiarkan menjadi pola
yang mapan, bisa jadi akan meruntuhkan pondasi akademis kesusasteraan.
Runtuhlah juga nilai-nilai, definisi, dan kategorisasi yang telah ada. Di
facebook, orang bisa begitu mudah disebut sastrawan karena ia rajin menulis di
facebook. Orang bisa membukukan karya karena punya uang, orang bisa diorbitkan
karena memiliki jaringan “pragmatis”.
Seperti yang lainnya pasti ada kekurangan
dan kelebihan dari suatu hal dalam hal ini Secara logika maupun estetika sastra
cyber memang berbeda dengan sastra di media lain. Misalnya di media cetak
sebuah karya dinilai terlebih dulu baru sampai ke pembaca, sementara pada media
cyber karya sampai dulu ke pembaca baru kemudian dinilai.
Logika dalam dunia cyber menciptakan
keleluasaan lebih bagi para pembaca. Jika di media cetak selera pembaca
ditentukan oleh redaktur (karena redaktur yang memutuskan karya apa yang dimuat
minggu ini), maka pada media cyber pembaca bebas menentukan seleranya. Tidak
hanya kebebasan atau kesetaraan, dunia cyber juga menawarkan kelebihan berupa
jangkauan yang sangat luas sehingga dapat ikut membantu memperkenalkan sastra
Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Jika melalui koran, sebuah karya hanya bisa
diakses sampai negara tetangga atau negara yang terdapat kedutaan Indonesia,
maka untuk media cyber jarak bukan sebuah masalah.
Lebih jauh maraknya tulisan sastra di
internet juga memberikan dampak positif bagi otonomi konten dan mengurangi
ketergantungan terhadap konten berbahasa asing. Tak dapat dipungkiri
kelebihan-kelebihan tersebut yang kemudian memikat para penggiat sastra baik
yang senior maupun pemula untuk menggunakan sebagai media ekspresi.
Sekarang tinggal bagaimana dinamika yang
ada itu digiring pada kualitas. Maka mau tidak mau, para akademisi atau
sastrawan harus ada yang ikut aktif di jejaring maya tersebut. Membangun
komunikasi akademis yang sadar ruang dan sadar nilai. Menggiring pengguna
facebook untuk menulis karya yang bagus, dan tentu saja agar mereka tidak
melupakan media massa, yang menggunakan proses seleksi yang ketat. Artinya,
kemajuan teknologi mesti diapresiasi dengan bijak. Tidak dengan serta merta,
atau apriori. Apalagi seiring menguatnya wacana “green life style”, di mana
segala perilaku manusia lebih diarahkan pada penghormatan terhadap lingkungan,
salah satunya dengan munculnya elektronic book (e-book). Buku digital ini
dianggap lebih ramah lingkungan, lebih murah, dan praktis. Seratus tahun ke
depan, bukan tidak mungkin kita tak lagi akrab dengan peradaban kertas.
Facebook adalah representasi peradaban
teknologi, facebook akan menyesatkan bila tidak disikapi. Salah satu cara untuk
menyikapi facebook adalah dengan memanfaatkannya. Facebook menjadi alternatif
sarana pembelajaran sastra. Facebook digauli untuk kemajuan, kebaikan, dan
perkembangan dunia kesusasteraan.
Sumber:
http://kangarul.com/karakteristik-media-baru-interactivity/
http://bleedcorpse.wordpress.com/2010/11/03/new-media/
https://www.google.co.id/imghp?hl=id&tab=wi